Picture
Parenting adalah sebuah proses membesarkan dan mendidik anak dari semenjak lahir, atau sebelum, hingga dewasa.  Pada manusia, biasanya dilakukan oleh orang tuanya, walaupun terkadang pemerintah atau pekerja sosial ikut terlibat. Terutama pada anak-anak yang tinggal di panti asuhan atau pada anak-anak yang ditolak atau diabaikan oleh orang tuanya, peran parenting dilakukan oleh lembaga yang berwenang atau oleh orang lain, sehingga anak-anak ini menerima peran parenting bukan dari orang tua biologisnya (http://  www.answer.com/topic/parent_child_relationship diakses pada 15/12/2008). Konsensus secara umum mengenai tugas ke-orang tua-an menyatakan bahwa tugas orang tua bisa dilakukan oleh bukan orang tua biologisnya selama tugas-tugas tersebut dapat dipenuhi. Adapun tugas orang tua terhadap anak meliputi pemenuhan seluruh kebutuhan dan tugas perkembangan anak, baik secara fisik, intelektual, maupun emosi. Pemenuhan kebutuhan fisik terdiri dari penyediaan tempat tinggal, pakaian, dan makanan, melindungi anak dari bahaya, perawatan secara fisik, dan pemeriksaan kesehatan anak. Sementara stimulasi bagi  perkembangan fisik anak meliputi memastikan anak tumbuh dan berkembang secara fisik, melatih pertumbuhan fisik anak, memperkenalkan anak pada olahraga, mengembangkan kebiasaan hidup sehat, dan memperkenalkan anak pada permainan-permainan fisik.
            Pemenuhan kebutuhan intelektual anak berarti terpenuhinya suatu kondisi yang memungkinkan kemampuan berpikir anak berkembang dengan optimal, dimana hal ini bisa dimungkinkan jika harga diri anak terlindungi. Jika harga diri anak terlindungi, maka anak akan mampu belajar. Hal ini didapatkan melalui terpenuhinya rasa keadilan dan kedamaian dalam keluarga, tidak ada satu anggota keluargapun yang terancam harga dirinya, menyediakan lingkungan yang tidak menakutkan, mengancam, dan melecehkan secara verbal, tersedianya waktu untuk saling mendekatkan diri dan adanya kebersamaan untuk menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama. Terstimulasinya perkembangan intelektual anak berarti tersedianya kesempatan bagi anak untuk belajar mengenai hukum-hukum alam dan moral, belajar membaca, menulis, berhitung, permainan intelektual, keterampilan sosial dan etika, pengembangan moral dan spiritual melalui sistem nilai dan etika, norma dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
            Pemenuhan kebutuhan emosional anak berarti terlindunginya anak dari bahaya-bahaya yang rawan mengancam emosinya. Tersedianya lingkungan yang aman dan penuh cinta, memastikan anak dapat merasakan bahwa dirinya dicintai, diinginkan dan disayangi. Untuk mengembangkan perasaan bahwa anak merasa dicintai adalah melalui pemberian dukungan dan dorongan secara emosional, terbentuknya kelekatan yang aman, dan adanya pelukan dan sentuhan yang konsisten. Terstimulasinya perkembangan emosi anak dimungkinkan jika tersedianya kesempatan bagi anak untuk mencintai, menyayangi dan membantu orang lain. Mengembangkan kemampuan anak dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara menunjukkan empati dan perasaan sayang kepada sesama dan orang lain yang lebih muda atau tua, yang lebih kuat atau lebih lemah, kepada alam, kepada hewan, tumbuhan dan sebagainya.

Gaya Pengasuhan (Parenting Style)
            Pada dasarnya tingkah laku parenting mempunyai 4 gaya, yaitu autoritarian, autoritatif, permisif (indulgent), dan detached (disinganged) (http://www.answer.com./topic/parent_child_relationship diakses pada 10/3/2009). Walaupun tidak ada satu orang tua yang konsisten memegang hanya satu model parenting, namun semua orang tua mengikuti kecenderungan untuk memegang hanya satu pendekatan dalam mempraktekkan tingkah laku parenting, dan dengan kerangka itu kita bisa mendeskripsikan hubungan orang tua-anak yang terjadi dalam keluarga tersebut.
            Orang tua dengan gaya autoritarian, sangat kaku memegang aturan, mereka mengharapkan kepatuhan yang absolut dari anak-anaknya. Mereka juga berharap anak-anak akan mengambil prinsip dan nilai-nilai yang ditanamkan keluarga tanpa mempertanyakannya. Orang tua autoritarian sangat disiplin, seringkali menggunakan hukuman fisik, dan tidak memberikan anak-anak kasih sayang yang semestinya untuk tujuan membentuk tingkah laku anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan orang tua seperti ini biasanya menjadi anak yang moody, tidak bahagia, ketakutan dan rapuh. Mereka cenderung menjadi anak yang pemalu, menarik diri dan kurang percaya diri. Sesungguhnya jika kasih sayang tidak diekspresikan pada anak-anak, biasanya mereka menjadi pembangkang dan anti sosial.        
            Orang tua dengan gaya autoritatif menunjukkan rasa hormat dan menghargai pendapat anak-anak dengan membiarkan mereka menjadi berbeda. Walaupun ada aturan dalam keluarga, orang tua membuka kesempatan untuk berdiskusi jika anak tidak memahami atau tidak setuju dengan aturan yang ditetapkan. Orang tua membuat aturan menjadi sesuatu yang jelas bagi anak-anak, walaupun pada akhirnya orang tua yang memegang kendali sebagai pemegang otoritas, namun negosiasi dan kompromi sangat mungkin untuk dilakukan. Orang tua autoritatif selain bertanggung jawab juga menuntut. Mereka tegas, tetapi menerapkan disiplin dengan cinta dan kasih sayang, dan bukan dengan kekuatan, mereka menjelaskan aturan dan harapan kepada anak-anak bukan dengan memaksa. Modal parenting seperti ini biasanya menghasilkan anak-anak yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi, mandiri, punya rasa ingin tahu yang besar, bahagia, asertif dan interaktif.
            Orang tua dengan gaya permisive (indulgent), hanya menerapkan sedikit atau sama sekali tidak ada pengontrolan terhadap tingkah laku anak. Kalaupun ada aturan dalam rumah, namun biasanya tidak diterapkan secara konsisten. Mereka juga menjelaskan alasan mengapa sebuah aturan ditetapkan, namun membiarkan anak-anak untuk mengikutinya atau tidak. Anak-anak justru belajar bahwa mereka bisa melakukan tingkah laku apa saja yang mereka inginkan. Orang tua model ini cukup responsif namun tidak menuntut secara khusus. Mereka memiliki sedikit harapan pada anak-anak dan menerapkan disiplin yang tidak konsisten. Hukuman diberlakukan namun tidak efektif karena tidak ada batas waktu. Anak-anak dengan orang tua seperti ini biasanya tumbuh menjadi anak yang tidak punya rasa hormat, tidak patuh, agresif, tidak bertanggung jawab, dan menyimpang. Mereka merasa tidak aman, karena sedikitnya bimbingan yang bisa menjaga tingkah laku mereka. Namun demikian, biasanya anak-anak ini juga kreatif dan spontan, walaupun rendah dalam tanggung jawab sosial dan kemandirian, namun mereka lebih bahagia daripada anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang autoritarian.
            Orang tua yang membiarkan (detached/disenganged), mereka tidak responsif juga tidak menuntut. Mereka tidak peduli dan tidak memperhatikan kebutuhan anak akan kasih sayang dan disiplin. Anak-anak dengan orang tua seperti ini biasanya mengalami sejumlah kesulitan dan masalah psikologis dan tingkah laku dibandingkan anak-anak lainnya.
            Model parenting dibentuk oleh sejarah perkembangan orang tua tersebut, pendidikan dan kepribadiannya, tingkah laku anaknya, dan oleh pengalaman serta kondisi terkini dari kehidupan orang tua tersebut. Tingkah laku orang tua juga dipengaruhi oleh pekerjaannya, perkawinan, kondisi keuangan keluarga, dan kondisi-kondisi lain yang berdampak pada tingkah laku orang tua dan kesejahteraannya secara psikologis. Sebagai tambahan, orang tua dari budaya yang berbeda, dari tingkat sosial ekonomi yang berbeda, dan dari kelompok etnis berbeda, membesarkan anak mereka dengan cara yang berbeda pula.


 
Picture
Attachment Parenting model dari William Sears (http://www.attachmentparenting.org  diakses pada 20/11/2009)
Attachment parenting adalah sebuah metode parenting yang mendasarkan pendekatannya pada teori attachment dari John Bowlby dan teori psikologi perkembangan. Sears berpendapat bahwa keberhasilan seorang anak tumbuh dan berkembang optimal disemua aspek perkembangan sangat bergantung pada attachment yang terjalin antara anak dengan orang tuanya. Pengertian attachment yang dirujuk Sears mengikuti apa yang dikatakan Bowlby, bahwa attachment (kelekatan) merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (pengasuhnya). Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan orang tua (pengasuh), maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan social (Bowlby dalam Pramana 1996). Adapun pengertian attachment parenting adalah serangkaian tingkah laku parenting yang berusaha untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman), menghindari hukuman fisik, mengajarkan disiplin melalui interaksi orang tua – anak, memenuhi kebutuhan emosional anak disertai dengan usaha untuk memahami anak secara menyeluruh.
Dengan attachment parenting, tingkah laku parenting yang ditunjukkan orang tua pada anaknya disesuaikan dengan kebutuhan emosional anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan tugas perkembangannya. Untuk dapat memahami dan memenuhi kebutuhan emosional anak sesuai tahap perkembangan, digunakan delapan tahap perkembangan psikososial dari Erik Erikson. Untuk dapat memenuhi tujuan dari attachment parenting terdapat delapan prinsip untuk mengembangkan attachment yang sehat (aman) antara anak dengan orang tua (pengasuh), yaitu:

1.      Persiapan selama masa kehamilan, melahirkan dan pengasuhan (Preparation for Pregnancy, Birth and Parenting)
      Persiapan selama masa kehamilan dan menyambut kelahiran merupakan sebuah pengalaman hidup yang positif dan transformatif. Kehamilan melahirkan penyesuian-penyesuaian dan banyak persiapan baik secara fisik, mental dan emosional bagi orang tua. Menjadikan diri terdidik dan memiliki pengetahuan dalam hal menjadi orang tua merupakan investasi dalam pembentukan attachment pada anak-orang tua. Pendidikan merupakan komponen kunci dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul selama menjalani proses menjadi orang tua.

2.      Memberi makan dengan cinta dan penghargaan (Feed with Love and Respect)
   Memberikan cinta pada anak bisa dilakukan dengan berbagai cara, bahkan melalui penyediaan makanan. Menyusui anak dengan asi, menyediakan makanan-makanan yang sehat dan menyajikan suasana makan yang menyenangkan, bisa dimanfaatkan sebagai cara untuk menyatakan cinta dan penghargaan kita pada anak-anak. Memahami apa yang menjadi kebutuhan anak adalah juga cara kita menghargai dan mencintai anak. Semakin orang tua belajar mengenai anak-anaknya akan semakin terbangun attachment dan ikatan antara orang tua dan anak. Semakin orang tua ingin tahu apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya, semakin orang tua menghargai keberadaan dan posisi anak-anak bagi mereka.

3.      Sensitivitas dalam memberi respon  (Respond with Sensitivity)
      Orang tua bisa membangun dasar dari rasa percaya dan empati anak dengan cara memahami dan merespon dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya. Membina hubungan dengan anak tidak hanya melalui memenuhi kebutuhan fisikalnya saja, tetapi juga saat menghabiskan waktu yang menyenangkan bersama-sama, dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan emosionalnya. Berusaha memahami apa yang menjadi kebutuhan anak saat ia melakukan tingkah laku negatif, dan bukan bereaksi secara negatif akan membuat anak merasa aman dan nyaman dengan dirinya sendiri yang sedang marah karena ia tidak tahu apa yang sesungguhnya diinginkannya. Mengenali kesiapan anak untuk mulai menguasai satu keterampilan tertentu juga merupakan tanda responsivitas orang tua terhadap anak, dan bukan menyamakan anak dengan anak lain seusianya.

4.      Sentuhan yang tulus (Use Nurturing Touch)
      Orang tua yang menggunakan sentuhan pada anak sebagai cara mengekspresikan rasa sayangnya akan meningkatkan attachment yang sehat pada anak. Walaupun anak terus tumbuh menjadi dewasa, namun sentuhan yang konsisten yang dilakukan orang tua pada mereka akan membuat mereka merasa aman dan dicintai. Bermain dan melakukan berbagai aktivitas fisik yang banyak melibatkan sentuhan fisik akan sangat bermanfaat dalam membangun kedekatan dan kepercayaan dengan anak.

5.      Pembiasaan tidur yang nyaman baik secara fisik maupun emosional (Ensure Safe Sleep Emotionally Physically and Emotionally )
Anak-anak seringkali menghadapi takut saat menghadapi malam. Pembiasaan tidur dan menyambut saat-saat tidur dengan suasana yang menyenangkan akan membuat anak tidak takut untuk tidur. Apakah karena mereka takut sendirian, takut kegelapan atau takut pada mimpi yang kadang-kadang datang. Pada anak yang seringkali bangun mala, jika orang tua bereaksi negatif pada kebiasaan mereka itu, akan semakin membuat anak takut.

6.      Konsisten dalam memberikan cinta dan perhatian (Provide Consisten Loving Care)
      Bayi dan anak-anak memiliki kebutuhan yang sangat tinggi dalam hal keberadaan fisik, konsistensi, kasih sayang dan responsivitas dari orang tua atau pengasuhnya. Kebiasaan sehari-hari, saat-saat bermain dan interaksi yang penuh kasih sayang serta konsisten akan meningkatkan kekuatan ikatan yang ada diantara mereka. Dengan menyediakan kasih sayang yang konsisten sejak masa bayi dan anak-anak, orang tua memperkuat ikatan yang sudah ada dan melahirkan attachment yang sehat. Ketiadaan orang tua didekat anak-anak mereka tidak boleh menghilangkan konsistensi dari pemberian dan pengekspresian kasih sayang. Orang tua bisa menggantikan ketiadaan dirinya dengan orang lain yang dipercaya dapat melanjutkan konsistensi tersebut.

7.      Pemberlakuan disiplin yang positif (Practice Positive Discipline)
      Attachment parenting mempunyai aturan utama dalam praktek parenting, yaitu orang tua harus memperlakukan anak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Disiplin yang positif merupakan sebuah metode yang dapat membantu anak mengembangkan kesadarannya yang dipandu oleh disiplin internal dirinya dan didukung oleh orang lain. Disiplin yang positif merupakan akar dalam pembentukan rasa aman, kepercayaan dan relasi yang mengikat antara anak dan orang tua. Positif disiplin merupakan disiplin yang empatik, penuh kasih sayang dan saling menghargai. Tujuan utama disiplin positif adalah membantu anak mengontrol dan mendisiplinkan dirinya sendiri.

8.      Keseimbangan dalam kehidupan personal dan keluarga (Strive for Balance in Personal and Family Life)
      Merupakan tingkah laku parenting yang berusaha untuk memastikan pemenuhan kebutuhan semua anggota keluarga. Setiap orang dalam sebuah keluarga memiliki kebutuhan, dengan prinsip ini orang tua didorong untuk memastikan setiap anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, semua orang merasa bahagia dan sejahtera, sehingga semua elemen dalam keluarga menjadi seimbang.




 

Bagaimana sebaiknya mengajari anak berhitung? Darimana mulainya? Mungkin inilah pertanyaan yang seringkali mengganggu para orang tua maupun guru, terutama di prasekolah dan taman kanak-kanak saat akan memulai memperkenalkan anak pada konsep berhitung. Reys, et al (1998) mengemukakan bahwa tujuan dari pengajaran penjumlahan dan pengurangan bilangan bukanlah untuk membuat anak tahu bagaimana cara menjumlah dan mengurang bilangan. Namun yang lebih penting adalah anak memahami penggunaannya pada berbagai situasi sebagai pemecahan masalah. Hal ini dapat tercapai apabila anak membangun pengetahuannya secara bertahap. Adapun yang menjadi dasar pertama kali adalah pemahaman mengenai bilangan, baru setelah itu dikenalkan dengan model operasi bilangan (penjumlahan/pengurangan). Pemahaman mengenai bilangan dikenal dengan istilah number sense. Number sense adalah  perasaan intuitif terhadap bilangan-bilangan dan penggunaan serta interpretasinya yang beragam. ”Number sense refers to an intuitive feel for numbers and their various uses and interpretations”.  Number sense juga meliputi kemampuan untuk menghitung secara akurat dan efisien, untuk menemukan kesalahan, dan untuk mengenali hasilnya secara logis. Individu dengan number sense yang baik akan dapat memahami bilangan dan menggunakannya secara efektif dalam kehidupan sehari-hari (McIntosh et al, 1992 dalam Reys, et al 1998).
NCTM Curicculum and Evaluation standards for School Mathematics (1989, dalam Reys, et al 1998) menggambarkan anak yang memiliki number sense yang baik sebagai berikut;

·         Memahami makna bilangan secara menyeluruh
·         Dapat mengembangkan hubungan-hubungan antara bilangan-bilangan
·         Mengenali besar relatif dari bilangan
·         Mengetahui efek relatif dari operasi terhadap bilangan
·         Mengembangkan dasar untuk mengukur objek dan situasi umum di lingkungan mereka.

Visi dari standar NCTM terkait dengan number sense adalah bahwa anak perlu mengembangkan konsep secara bermakna sehingga mereka dapat menggunakan bilangan secara efektif baik di dalam maupun di luar sekolah. Perlu dipahami bahwa number sense bukanlah suatu hal yang secara pasti dimiliki atau tidak dimiliki oleh anak. Perkembangan number sense merupakan proses yang berlangsung terus menerus. Anak mulai mengembangkan pemahaman mengenai bilangan jauh sebelum mereka bisa menghitung. Misalnya, anak dapat menjawab pertanyaan ”berapa umur kamu?” atau ”kakak kamu ada berapa?”. Pengalaman anak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut mengenalkan anak pada nama bilangan sekaligus juga pada lambangnya. Nama dan lambang tersebut diingat melalui suara dan apa yang anak lihat dan merupakan awal yang baik untuk pengenalan bilangan. Namun pengetahuan tersebut tidak menunjukkan bahwa anak benar-benar memahami bilangan.

Pengalaman anak tersebut menekankan karakteristik penting dari bilangan, yaitu abstraksi. Hal tersebut tidak bisa digambarkan hanya dalam satu situasi. Penelitian mengenai bagaimana anak mengembangkan number sense memperjelas bahwa semakin beragam dan berbeda pengalaman mereka, semakin mereka dapat mengabstraksikan konsep bilangan dari pengalaman mereka tersebut (Payne and Huinker 1993 dalam Reys et al 1998). Membantu anak memiliki dasar number sense yang baik menjadi penekanan. Hasil peneltian longitudinal (misalnya penelitian  Krajewski, 2003) menunjukkan bahwa pemahaman mengenai kuantitas dan bilangan merupakan kompetensi dasar yang penting untuk pembelajaran matematika.

Number sense berkembang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Prenumber concepts
Bilangan merupakan cara mendasar untuk menggambarkan dunia. Bilangan merupakan abstraksi yang diterapkan dalam situasi nyata maupun situasi imajinasi secara luas. Misalnya : lima anak, lima permen, lima tahun, lima meter, lima pilihan. Karena bilangan adalah hal yang abstrak, maka untuk mengkomunikasikannya, kita membutuhkan representasi – sesuatu yang berbentuk fisik, dapat dikatakan, atau ditulis. (National Research Council, 2001 dalam Kilpatrick, 2001). Pemahaman mengenai bilangan dimulai dengan pengalaman yang tidak langsung berhubungan dengan lambang bilangan, namun merupakan dasar pemahaman terhadap konsep bilangan dasar ini meliputi:
a.      Classification
Mengorganisasikan informasi, termasuk mengklasifikasikan merupakan hal yang penting  untuk dipelajari oleh anak usia dini. Anak menggunakan atribut yang ada pada suatu objek dan memisahkannya melalui berbagai cara. Awalnya, pemisahan bisa hanya melibatkan satu atribut saja. Selanjutnya, atribut yang dilibatkan bisa semakin kompleks, misalnya anak-anak diminta untuk menemukan balok biru yang besar. Selanjutnya, guru bisa meminta murid untuk mencari persamaan dan perbedaan dari suatu objek. Classification merupakan dasar untuk belajar mengenai dunia nyata dan bisa dilakukan dengan atau tanpa lambang bilangan. Misalnya anak bisa memisahkan kelompok anak laki-laki dan perempuan. Kemampuan mengklasifikasikan merupakan prasyarat untuk memahami pengerjaan  tugas-tugas yang berhubungan dengan bilangan. Jika anak ingin mengetahui berapa jumlah anak laki-laki di kelas, maka ia harus mampu mengenali (mengklasifikasikan) anak laki-laki. Dengan demikian, sebelum anak bisa menghitung, mereka harus mengetahui apa yang mereka hitung. Kesempatan untuk memisahkan dan mengklasifikasikan benda menajamkan kemampuan berpikir mereka.  Anak-anak belajar untuk membedakan antara kucing dan anjing, reptil dan mamalia, atau jenis mainan yang mereka mainkan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan kegiatan mengklasifikasikan, yang bukan saja membantu mereka untuk memahami benda-benda di sekitar mereka, namun juga membantu mereka menjadi pemikir yang fleksibel (flexible thinker). Mengklasifikasikan benda-benda dengan berbagai cara yang berbeda membantu pekembangan keterampilan berpikir.  Ketika anak mengklasifikasikan atau memisah-misahkan benda, anak harus menentukan apakah masing-masing benda memiliki karakteristik yang telah ditentukan. (Whitten, 1989 dalam Reys, et al 1998). Ketika anak menghitung jumlah benda yang memiliki karekteristik tertentu, maka anak dapat menjawab pertanyaan ”berapa banyak”? Melalui pertanyaan ini, anak belajar mengenai bilangan kardinal. Sebelum bisa menjawab pertanyaan mengenai bilangan kardinal ini, anak harus bisa mengidentifikasi karakteristik yang ditentukan dengan tepat, sehingga perhitungan yang dilakukannya pun menghasilkan bilangan yang benar.
Dalam kegiatan mengklasifikasikan, anak juga belajar mengenal konsep operasi dari ”penggabungan” (union) dan ”irisan” (intersection). Combining atau union dari kumpulan yang terpisah merupakan model dasar dari penjumlahan. Hubungan logis ’atau’ bisa digunakan untuk membangun konsep penggabungan dari dua kumpulan atau lebih. Irisan dari dua kelompok atau lebih bisa digunakan untuk membangun konsep hubungan logis ”dan”. Dalam kegiatan ini, anak juga belajar konsep ”bukan” dalam mengidentifikasi karakteristik dari objek. Ketiga hubungan logis yaitu ”atau”, ”dan” serta ”bukan” merupakan konsep dasar untuk mengembangkan pemahaman selanjutnya.
Pada anak usia 4-5 tahun yang masih berada pada tahap preoperational, kegiatan classification yang diberikan pada anak harus memperhatikan kesiapan anak. Mulailah dari klasifikasi sederhana, yang hanya melibatkan satu dimensi (misalnya: balok berbentuk segitiga). Apabila anak telah bisa, mulailah dengan menambah dengan satu dimensi lainnya (misalnya ”balok segitiga yang berwarna merah”).
b.   Pattern
Menentukan pola dan menstrukturkan serta mengorganisasikan informasi (termasuk mengelompokkan) merupakan proses matematika yang penting. Menyusun pola  seperti  abab, abcabc, dan  aabbaabb dapat dipelajari oleh anak usia dini, dan banyak anak di TK dapat melakukan lebih banyak pola yang lebih kompleks (Clements and Sarama, 2007). Belajar melihat unit dalam arah tertentu (dari kiri ke kanan atau dari dari bawah ke atas/dari atas ke bawah) (ab dalam  abab, abc dalam abcabc) dan kemudian mengulangnya secara konstan merupakan inti dari mengulang pola. Belajar untuk meluaskan pola yang diberikan pada bentuk lain (misalnya dari warna ke bentuk atau ke gerakan tubuh), merupakan proses latihan untuk mengabstraksikan dan menggeneralisasikan pola.
Menciptakan, membangun dan menggambarkan pola memerlukan keterampilan penyelesaian masalah (problem solving) dan merupakan bagian penting dalam belajar matematika. Pola bisa berdasarkan pada atribut geometrik (bentuk, sifat), atribut fisik (warna, ukuran), atau atribut afektif (suka, tidak suka). Pola juga bisa mengkombinasikan antara beberapa atribut. Misalnya anak diminta membuat pola sesuai dengan warna kesukaannya, yang berarti menggabungkan atribut afektif dan atribut warna.
Number sense dan eksplorasi matematika berkembang melalui kegiatan membuat pola. Membuat pola mengembangkan number sense, ordering, counting, and sequencing (Coburn, et al, 1992 dalam Reys et al, 1998). Selanjutnya, membuat pola sangat membantu dalam mengembangkan kemampuan menyusun strategi dalam memecahkan masalah matematika.
 Beberapa kegiatan terkait dengan menyusun pola adalah sebagai berikut:
·         Copying a pattern : Anak diminta untuk meniru pola yang sudah ada. Dengan demikian, anak belajar untuk memilih objek yang sama dan menyusunnya dengan pola yang sama.
·         Finding the next one: Menentukan bentuk selanjutnya berdasarkan pola sebelumnya yang telah ada.
·         Extending a pattern: Menentukan pola selanjutnya berdasarkan pola sebelumnya yang telah ada.
·         Making their own pattern : Menyusun pola sendiri

Bahasa dan komunikasi merupakan bagian yang penting dari kegiatan menyusun pola. Anak perlu diarahkan untuk ”think out loud” saat mereka menyusun pola. Tanya mereka mengapa mereka memilih bentuk tertentu. Penguasaan akan pola akan berguna pada tahap selanjutnya, yaitu membilang. Membilang melibatkan beberapa pola yang penting, misalnya pola dalam urutan nama bilangan (satu, dua, tiga,,,,sebelas, dua belas,,,tiga belas,,,,). Anak akan dapat membilang dengan mudah 1 sampai 100 jika mereka dapat mengidentifikasi dan mengulangi polanya.
c.       Comparison
Bilangan menunjukkan “berapa banyak”. Dengan kata lain, bilangan mengkomunikasikan berapa jumlah benda yang ada. Seseorang dapat menggunakan bilangan untuk memberikan informasi yang spesifik dan detil mengenai kumpulan benda atau kuantitas dari benda. Bilangan merupakan abstraksi dari gagasan kuantitas  karena setiap bilangan menunjukkan beragam situasi yang tak terhingga. Kita menggunakan bilangan tiga untuk menggambarkan tiga bebek, tiga mainan dinosaurus, tiga orang, dan sebagainya. Kita bisa berpikir bilangan 3 sebagai hal yang abstrak. Bagaimana seseorang dapat memahami aspek abstraksi dari bilangan ini? Korespondensi satu-satu merupakan intinya. Setiap dua kelompok benda bisa diletakkan dalam susunan korespondensi satu-satu antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Hal ini berarti setiap anggota dalam kelompok pertama dipasangkan dengan satu anggota dalam kelompok kedua. Misalnya, masing-masing bebek dipasangkan dengan masing-masing mainan dinosaurus. Membandingkan kuantitas merupakan tahap penting selanjutnya dalam number sense. Pertanyaan membandingkan (mana yang lebih banyak, sama, dan mana yang lebih sedikit) mengajarkan mengenai konsep korespondensi satu-satu. Pada tahap ini, anak belajar mengenai konsep ”lebih banyak dari”, ”lebih sedikit dari”, dan ”sama dengan”.  Yang perlu menjadi perhatian pada tahap ini adalah anak harus melakukan kegiatan ini menggunakan benda yang konkrit, yang berbentuk tiga dimensi sehingga anak dapat memasangkan satu-satu setiap benda dalam dua kelompok itu.
d.      Conservation
Conservation of number, yaitu anak memahami bahwa jumlah benda dalam satu kelompok akan tetap jika hanya berubah urutan/tampilan, tidak ditambah atau dikurang. Anak biasanya belum memahami conservation sampai usia 5 atau 6 tahun. Kemampuan anak dalam conservation menandakan bahwa ia siap untuk berpikir abstrak, yaitu melakukan operasi mental di dalam ”pikirannya”. Penguasaan conservation menunjukkan kesiapan anak untuk memahami penjumlahan dan pengurangan yang disajikan dalam bentuk lambang bilangan dan lambang operasi bilangan. Pada usia 4-5 tahun, anak dapat dikenalkan pada konsep ini dengan cara diberikan beragam bentuk penyajian benda yang menunjukkan jumlah yang sama dengan cara memasangkannya satu-satu.  
e.      Group recognition
Pengenalan terhadap jumlah objek sampai dengan lima atau enam tanpa anak harus menghitung diperlukan untuk:
·         Menghemat waktu.
·         Merupakan dasar untuk mengembangkan gagasan mengenai bilangan. Anak yang dapat mengenali bilangan yang kecil (satu sampai dengan lima) memahami hubungan antar bilangan tersebut lebih baik, misalnya bahwa 3 lebih banyak daripada 2, dan 1 lebih sedikit daripada 4.
·         Mempercepat keterampilan menghitung.
·         Mempercepat perkembangan menjumlah dan mengurang. Pengenalan terhadap jumlah objek yang sedikit membuat anak bisa fokus pada operasi bilangan, terlepas dari beban harus menghitung jumlah objek yang sedikit.
Penelitian menunjukkan bahwa pada usia 3 tahun, anak dapat menyebutkan jumlah benda dalam satu kumpulan dengan apa yang disebut “subitizing”. Subitizing adalah “menentukan dengan cepat” jumlah suatu kumpulan benda tanpa membilang. Hal ini hanya bisa untuk jumlah benda yang sedikit (untuk orang dewasa pun, biasanya hanya 1-5 benda). Perkembangan subitizing ini terjadi sesuai dengan pertambahan usia anak selama masa prasekolah, anak dapat melakukan subitizing 1-4 pada anak usia 3 tahun dan 1-5 pada usia 4 atau 5 tahun  (Damon, 1998).

2. Counting (membilang)
Kebanyakan apa yang diketahui anak usia prasekolah mengenai bilangan terkait dengan perkembangan kemampuan membilang mereka. Membilang sekelompok benda adalah tugas yang kompleks, melibatkan pemikiran, persepsi, dan gerakan, namun kompleksitasnya kerap terkubur karena kebiasaan/familiarnya hal tersebut. Coba pahami apa yang dibutuhkan untuk membilang sekelompok benda. Objek yang akan dibilang harus diidentifikasi dan dibedakan dari objek yang tidak akan dibilang, juga dari objek yang telah dibilang sebelumnya. Objek dibilang dengan memasangkan setiap objek dengan representasi verbal (biasanya nama bilangan). Lalu perlu dilakukan tindakan memasangkan setiap objek dengan kata yang diucapkan. Akhirnya, seseorang perlu memahami hasil membilang yang merepresentasikan jumlah benda yang dibilang.
Begitu anak belajar untuk membilang, pola pikir mereka dalam konsep bilangan menjadi berubah. Membilang bukan semata menyebutkan nama bilangan secara berurutan. Harus ada objek yang dibilang, dan harus ada prosedur dimana setiap nama bilangan yang disebutkan harus berkorespondensi dengan salah satu objek yang dibilang. Pada awalnya objek-objek yang digunakan dapat dilihat, misalnya manik, jari, tangga dan sebagainya. Anak tidak hanya harus mampu mengamati objek, tapi juga harus bisa membayangkan objek tersebut sebagai satuan yang akan dibilang. Selanjutnya, anak menjadi mampu membilang sekelompok benda dan juga objek yang tidak secara nyata mereka lihat. Anak yang membilang juga harus selalu menciptakan representasi mental dari objek yang mereka bilang. Proses menciptakan ini tergambar dengan jelas saat anak dapat membilang objek dimana objek tersebut tidak bisa dilihat, didengar, atau diraba. Membilang tanpa hadirnya objek adalah titik kulminasi dari proses perkembangan selanjutnya yang lebih kompleks. Proses tersebut meliputi perkembangan berkelanjutan dari kemampuan menciptakan unit objek yang akan dibilang, awalnya atas dasar persepsi terhadap objek (eksternal) lalu selanjutnya atas dasar representasi internal.
Untuk membilang, anak perlu mengingat nama bilangan dan urutannya dengan benar. Membilang dapat dilihat sebagai menyebutkan daftar yang panjang tak terbatas dan berurut dari nama bilangan. Daftar nama bilangannya mulai dari 1, dan setiap bilangan dalam daftar memiliki “unique successor”. Hal ini menciptakan urutan tertentu, yang bernama  1,2, 3, 4, 5, 6, . . . . Merupakan hal yang salah apabila melewatkan nama bilangan dari daftar, atau menukar urutan nama bilangan dalam daftar. Juga, setiap nama bilangan hanya muncul sekali, sehingga salah apabila mengulang nama bilangan yang sama. Daftar nama bilangan penting karena dapat digunakan sebagai bagian dari membilang satu-satu untuk menyatakan ada berapa benda dalam kumpulan tersebut.  Membilang membuat seseorang dapat mengkuantifikasi secara tepat kumpulan yang lebih besar daripada kumpulan yang dapat dengan mudah dikenali (sampai tiga atau empat). Membilang artinya mendaftar nama bilangan dalam urutan, biasanya mulai dari 1, namun kadang-kadang mulai dari nama bilangan yang lain, misalnya 5, 6, 7, . . . . Bentuk lain dari membilang adalah membilang lompat (skip counting), dimana seseorang melompat 2, 3 atau empat bilangan. Misalnya 2, 4, 6, . . . , and membilang mundur seperti 10, 9, 8, 7, . . . .
Dalam membilang, nama bilangan yang terakhir diucapkan merupakan jumlah dari benda yang dihitung dalam kelompok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa membilang merupakan jembatan yang menghubungkan daftar nama bilangan dengan konsep cardinality. Dengan demikian, membilang adalah menambah: setiap membilang menambah satu lebih pada kelompok yang sebelumnya. Jadi, jika membilang mundur berarti mengurang satu-satu. Hal ini berguna untuk digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan menjumlah dan mengurang.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari kemampuan anak membilang;
a.         Counting principles
Ada 4 prinsip yang harus dipenuhi dalam proses membilang:
1.                  Masing-masing objek yang dibilang harus ditempatkan satu-satu sesuai dengan nama bilangannya. Hal ini disebut sebagai prinsip one-to one-correspondence.
2.                  Daftar nama bilangan harus disebutkan dalam urutan yang tetap setiap kali sekelompok objek dibilang. Anak harus membilang dengan urutan satu, dua, tiga, empat...dan seterusnya. Prinsip ini disebut stable order rule.
3.                  Urutan objek yang dibilang tidak berpengaruh, sehingga anak bisa mulai dengan objek yang mana saja dan membilangnya dengan urutan bagaimana saja. Hal ini dikenal dengan order irrelevance rule.
4.                  Nama bilangan yang terakhir menunjukkan jumlah objek dalam kumpulan tersebut. Hal ini dinamakan cardinality rule, yang berhubungan dengan pertanyaan ”berapa banyak”.
Prinsip-prinsip membilang di atas akan menunjukkan keterampilan membilang anak.
b.   Counting Stages
1.      Rote Counting
            Anak menggunakan rote counting untuk mengetahui beberapa nama bilangan, namun masih belum bisa menyebutkannya secara berurut. Intinya, anak belum bisa melakukan perhitungan korespondensi satu-satu, yaitu menyebutkan nama bilangan yang tepat, dengan urutan yang tepat, sambil menunjuk benda yang dihitung satu persatu.
2.      Rational Counting
            Pada tahap rational counting, anak bukan saja hanya bisa menggunakan prinsip korespondensi satu-satu dalam menghitung, namun juga dapat menjawab pertanyaan mengenai jumlah benda yang sedang dibilang. Anak yang sudah berada pada tahap ini memiliki kemampuan menerapkan empat prinsip membilang.
c.       Counting Strategis
               Setelah anak menguasai rational counting sampai 10 atau sampai 20, tahap selanjutnya yang harus dikuasai anak adalah strategi menghitung.
1.      Counting On
Dalam counting on, anak menyebutkan nama bilangan dengan benar untuk menghitung maju dan bisa mulai di bilangan berapapun untuk mulai menghitung maju. Mempraktekkan counting on mengarah pada penemuan pola-pola. Counting on juga merupakan strategi yang penting untuk mengembangkan penjumlahan.
2.      Counting Back
            Ketika anak menghitung mundur, mereka memberikan nama bilangan yang benar. Strategi ini sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mengurang.
3.      Counting Pratices
            Latihan membilang meliputi counting on dan counting back dalam kegiatan sehari-hari.

3.  Early Number Development

a.      Developing Number Benchmark
                    Number benchmark adalah jangkar persepsi (perceptual anchor) yang terinternalisasi dari banyak pengalaman konkrit yang terakumulasi selama beberapa tahun. Misalnya,  5 dan 10 (bilangan yang menunjukkan jumlah jari di satu dan 2 tangan), merupakan dua benchmark awal. Selanjutnya, anak mempelajari bahwa 6 adalah satu tangan ditambah satu jari.

b.      Making Connection
            Perkembangan angka 1 sampai dengan 5 secara prinsip berjalan melalui pemahaman terhadap pola yang kemudian diasosiasikan dengan penamaan secara verbal dan kemudian lambang bilangan secara tertulis. Misalnya pada anak ditunjukkan gambar sepeda roda tiga, kemudian ditanyakan padanya ’ada berapa roda pada sepeda itu?’. Pertanyaan ini mengenalkan anak pada konsep tiga, yaitu mengenali jumlah tiga, menyebutkan nama ”tiga” dan lalu menuliskan lambang bilangan 3.

4. Cardinal, Ordinal, Nominal Number
         Secara sederhana, cardinal number adalah konsep bilangan yang menjelaskan pertanyaan ”berapa banyak?”. Konsep lain yang perlu dikuasai anak adalah ordinal number, yang secara sederhana digambarkan sebagai jawaban dari pertanyaan ”yang mana?”. Kegiatan menyusun benda berdasarkan urutan tertentu mengantarkan anak pada pemahaman mengenai ordinal number. Saat anak bisa mengurutkan benda dengan benar, anak juga bisa menjawab pertanyaan menurut posisinya, misalnya yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Penelitian menunjukkan bahwa anak mengenal beberapa angka ordinal pertama, kedua dan ketiga sebelum mereka masuk sekolah (Payne&Huinker, 1993 dalam Reys, et al, 1998). Konsep selanjutnya yang harus dikenalkan pada anak adalah konsep nominal number. Contohnya adalah nomer di baju pemain sepakbola, kode pos, nomor telpon. Pada saat mengajarkan konsep-konsep cardinal, ordinal dan nominal, anak tidak perlu dikenalkan pada istilahnya. Yang penting anak tahu, bilangan mana yang bisa dijumlahkan/dikurangi dan bilangan mana yang tidak bisa dijumlahkan/dikurangi.

5. Writing Numerals
            Setiap bilangan dalam daftar bilangan memiliki nama bilangan tertentu untuk diucapkan dan dapat dilambangkan dengan lambang tertulis tertentu. Standar NCTM (1989 dalam Reys et al 1998) tidak merekomendasikan penekanan untuk menulis lambang bilangan pada anak usia dini. Sebaliknya, anak usia dini harus fokus pada perkembangan konsep bilangan dan hubungan antar bilangan. Rekomendasi tersebut berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa anak usia dini mengalami kesulitan menuliskan lambang bilangan seperti mereka kesulitan menuliskan huruf (Payne and Hunker 1993 dalam Reys et al, 1998). Motorik halus dan koordinasi visual motorik yang belum matang menyebabkan anak mengalami kesulitan saat harus menulis lambang bilangan. Pengenalan yang terlalu awal pada lambang juga bisa membuat anak mengalami frustrasi.

 
6. Model Operasi Bilangan
            Bilangan membentuk sistem yang koheren dimana bilangan dapat dibandingkan, ditambah, dikurangi, dikalikan dan dibagi. Seperti juga bilangan merupakan abstraksi dari gagasan kuantitas, hubungan “kurang dari”, “lebih dari”, dan “sama dengan” serta operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian adalah abstraksi dari perbandingan, penggabungan dan pemisahan kuantitas.  Hubungan dan operasi bilangan tersebut dapat diaplikasikan dalam beragam situasi.
Dalam beberapa situasi  terbukti secara visual bahwa ada lebih banyak benda dalam satu kelompok dibanding kelompok lainnya, misalnya saat perbedaan jumlahnya cukup banyak.  Namun ada situasi dimana tidak terlalu jelas perbedaan jumlah antara dua kelompok yang dibandingkan, sehingga tidak bisa dilihat mana yang lebih banyak dan mana yang lebih sedikit.  Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memasangkan satu-satu kelompok benda yang dibandingkan. Misalnya jika anak harus membandingkan manik hitam dan manik putih dengan cara memasangkan manik hitam satu-satu dengan manik putih. Jika ada lebih paling sedikit satu manik putih, berarti manik putih yang lebih banyak. Jika ada lebih paling sedikit manik hitam, berarti manik hitam yang jumlahnya lebih banyak. Dan kalau tidak ada kelebihan, berarti kedua kelompok manik jumlahnya sama banyak (meskipun anak mungkin tidak tahu pasti dan tidak perlu tahu pasti berapa jumlahnya). Kalau memasangkan satu-satu tidak memungkinkan, anak dapat membilang masing-masing kelompok manik untuk menentukan kelompok mana yang lebih banyak. Misalnya, seorang anak tahu bahwa ada lebih banyak manik dalam kelompok yang terdiri dari 8 manik dibandingkan dengan kelompok yang terdiri dari 7 manik, karena  8 berada setelah 7 dalam daftar nama bilangan. Membilang kemudian menyediakan cara yang lebih maju dibandingkan dengan memasangkan satu-satu karena didasarkan pada pengetahuan bagaimana bilangan dibandingkan. Membilang juga merupakan cara yang lebih baik dalam memandingkan karena dapat digunakan untuk kelompok yang secara fisik jauh untuk dibandingkan.
Penjumlahan dan pengurangan digunakan untuk menghubungkan jumlah sebelum dan sesudah penyatuan atau pemisahan, untuk menghubungkan jumlah dalam bagian dan keseluruhan, atau untuk mengatakan secara persis bagaimana dua jumlah dibandingkan. Situasi dan ceritera penjumlahan dan pengurangan dapat diformulasikan dengan variasi yang lebih beragam, tidak hanya sekedar menggunakan bahasa sederhana “menambah” atau “mengambil”. Metoda yang digunakan oleh anak untuk menyelesaikan masalah penjumlahan dan pengurangan berdasarkan pada hubungan daftar nama bilangan dan konsep cardinality (jumlah).
Menghubungkan dan mengkomunikasikan adalah merupakan penekanan yang penting di usia pra-sekolah. Anak harus belajar untuk menggambarkan pemikiran dan pemalaran mereka, pola yang mereka lihat dan mereka harus menggunakan bahasa matematika untuk benda, situasi dan gagasan. Pengalaman informal matematika, pemecahan masalah, eksplorasi dan bahasa menyediakan dasar untuk pemahaman dan penggunaan bahasa dan lambang matematika. 
            Pemahaman mengenai makna penjumlahan dan pengurangan menjadi dasar dari pemahaman anak akan operasi matematika selanjutnya. Oleh karena itu, anak harus memiliki konsep operasi yang baik. Hal ini dapat terjadi apabila masing-masing operasi matematika disajikan dalam pendekatan dengan menggunakan model yang berbentuk fisik. Pengalaman tersebut membuat anak memahami  bahwa operasi penumlahan dan pengurangan dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Anak juga akan memahami hubungan dari setiap operasi yang dilakukan.
Pada anak, pemahaman konseptual dapat terjadi jika simbol-simbol matematika diungkapkan menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi bermakna dan dipahami oleh anak. “Bahasa” yang dapat digunakan untuk menggambarkan operasi  penjumlahan dan pengurangan adalah sebagai berikut (Reys et al, 1998) :

1.            Memisahkan atau mengambil; memindahkan sejumlah kuantitas dan melihat berapa banyak yang tertinggal (untuk pengurangan), dan sebaliknya (untuk penjumlahan). Menurut studi yang dilakukan oleh Gibb (1956, dalam  Reys, R.E, et al, 1998), penggunaan bahasa ini untuk menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan adalah cara yang termudah untuk dipahami oleh anak.
2.            Membandingkan, atau menemukan perbedaan yang melibatkan dua kelompok benda; memasangkan mereka satu-satu dan melihat berapa perbedaan jumlah antara mereka.
3.            Menemukan “berapa banyak lagi yang dibutuhkan”, melibatkan sejumlah total kuantitas, mengetahui jumlah dari satu bagiannya dan mencari berapa sisa bagian yang lain.  

DAFTAR PUSTAKA
Kellough, Richard D.1996.Integrating Mathematics and Science for Kindergarten and Primary Children. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kilpatrick, Jeremy et al.2009. Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics. National Research Council.
Rains, et al.2008.The Evolution of the Importance of Multisensory  Techniques in Elementary Mathematic: Theory and Practice. Journal of Theory and Practice in Education
Reys. E, et al.1998. Helping Children Learn Mathematics; Fifth Edition. USA: Allyn & Bacon.






 
Picture
 Istilah attachment (kelekatan) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada tahun 1969 (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua (Mc Cartney dan Dearing, 2002).
Bowlby menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke,2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut ( Durkin, 1995).
Tidak semua hubungan yang bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman.
Menurut Maccoby (2000) seorang anak dapat dikatakan lekat pada orang lain jika memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Mempunyai kelekatan fisik dengan seseorang
b. Menjadi cemas ketika berpisah dengan figur lekat
c. Menjadi gembira dan lega ketika figur lekatnya kembali
d. Orientasinya tetap pada figur lekat walaupun tidak melakukan interaksi. Anak memperhatikan gerakan, mendengarkan suara dan sebisa mungkin berusaha mencari perhatian figur lekatnya.
Selama ini orang seringkali menyamakan kelekatan dengan ketergantungan (dependency), padahal sesungguhnya kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang berbeda. Ketergantungan anak pada figur tertentu timbul karena tidak adanya rasa aman. Anak tidak dapat melakukan otonomi jika tidak mendapatkan rasa aman. Hal inilah yang akan menimbulkan ketergantungan pada figur tertentu. Adapun ciri kelekatan adalah memberikan kepercayaan pada orang lain yang dapat memberikan ketenangan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelekatan adalah suatu hubungan emosional atau hubungan yang bersifat afektif antara satu individu dengan individu lainnya yang mempunyai arti khusus, dalam hal ini biasanya hubungan ditujukan pada ibu atau pengasuhnya. Hubungan yang dibina bersifat timbal balik, bertahan cukup lama dan memberikan rasa aman walaupun figur lekat tidak tampak dalam pandangan anak.

Teori-Teori Kelekatan
Penjelasan mengenai kelekatan dapat dipandang dari berbagai sudut pandang atau kerangka berpikir. Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kelekatan, antara lain :
a. Teori Psikoanalisa
Berdasarkan teori psikoanalisa Freud (Durkin 1995, Hetherington dan Parke,1999), manusia berkembang melewati beberapa fase yang dikenal dengan fase-fase psikoseksual. Salah satu fasenya adalah fase oral, pada fase ini sumber pengalaman anak dipusatkan pada pengalaman oral yang juga berfungsi sebagai sumber kenikmatan. Secara natural bayi mendapatkan kenikmatan tersebut dari ibu disaat bayi menghisap susu dari payudara atau mendapatkan stimulasi oral dari ibu. Proses ini menjadi sarana penyimpanan energi libido bayi dan ibu selanjutnya menjadi objek cinta pertama seorang bayi. Kelekatan bayi dimulai dengan kelekatan pada payudara ibu dan dilanjutkannya dengan kelekatan pada ibu. Penekanannya disini ditujukan pada kebutuhan dan perasaan yang difokuskan pada interaksi ibu dan anak
Selanjutnya Erickson (Durkin, 1995) berusaha menjelaskannya melalui fase terbentuknya kepercayaan dasar (basic trust). Ibu dalam hal ini digambarkan sebagai figur sentral yang dapat membantu bayi mencapai kepercayaan dasar tersebut. Hal tersebut dikarenakan ibu berperan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan bayi, menjadi sumber bergantung pemenuhan kebutuhan nutrisi serta sumber kenyamanan. Pengalaman oral dianggap Erickson sebagai prototip proses memberi dan menerima (giving and taking).
b. Teori Belajar
Kelekatan antara ibu dan anak dimulai saat ibu menyusui bayi sebagai proses pengurangan rasa lapar yang menjadi dorongan dasar. Susu yang diberikan ibu menjadi primary reinforcer dan ibu menjadi secondary reinforcer . Kemampuan ibu untuk memenuhi kebutuhan dasar bayi menjadi dasar terbentuknya kelekatan. Teori ini juga beranggapan bahwa stimulasi yang diberikan ibu pada bayi, baik itu visual, auditori dan taktil dapat menjadi sumber pembentukan kelekatan (Gewirtz dalam Hetherington dan Parke, 1999).
c. Teori Perkembangan Kognitif
Kelekatan baru dapat terbentuk apabila bayi sudah mampu membedakan antara ibunya dengan orang asing serta dapat memahami bahwa seseorang itu tetap ada walaupun tidak dapat dilihat oleh anak. hal ini merupakan cerminan konsep permanensi objek yang dikemukakan Piaget (Hetherington dan Parke, 1999). Saat anak bertambah besar, kedekatan secara fisik menjadi tidak terlalu berarti. Anak mulai dapat memelihara kontak psikologis dengan menggunakan senyuman, pandangan serta kata-kata. Anak mulai dapat memahami bahwa perpisahannya dengan ibu bersifat sementara. Anak tidak merasa telalu sedih dengan perpisahan. Orang tua dapat mengurangi situasi distress saat perpisahan dengan memberikan penjelasan pada anak.
d. Teori Etologi
Bowlby (Hetherington dan Parke, 1999) dipengaruhi oleh teori evolusi dalam observasinya pada perilaku hewan. Menurut teori Etologi (Berndt, 1992) tingkah laku lekat pada anak manusia diprogram secara evolusioner dan instinktif. Sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Ibu dan anak secara biologis dipersiapkan untuk saling merespon perilaku. Bowlby (Hetherington dan Parke,1999) percaya bahwa perilaku awal sudah diprogam secara biologis. Reaksi bayi berupa tangisan, senyuman, isapan akan mendatangkan reaksi ibu dan perlindungan atas kebutuhan bayi. Proses ini akan meningkatkan hubungan ibu dan anak. Sebaliknya bayi juga dipersiapkan untuk merespon tanda, suara dan perhatian yang diberikan ibu. Hasil dari respon biologis yang terprogram ini adalah anak dan ibu akan mengembangkan hubungan kelekatan yang saling menguntungkan (mutuality attachment). Teori etologi juga menggunakan istilah “Psychological Bonding” yaitu hubungan atau ikatan psikologis antara ibu dan anak, yang bertahan lama sepanjang rentang hidup dan berkonotasi dengan kehidupan sosial.

Pengertian Tingkah Laku Lekat
Tingkah laku lekat (attachment behavior) adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat seseorang merasa takut, sakit dan terancam. Ada dua stimulus yang membuat merasa terancam, yaitu :
1) stimulus yang berbentuk besar, suaranya keras, datang secara tiba-tiba dan berubah dengan cepat;
2) objek yang bagi anak merupakan sesuatu yang asing. Jika anak berada dalam kondisi ini maka sistem kelekatannya diaktifkan. Anak akan bergerak mendekat untuk melihat atau memeriksa keberadaan ibunya. Adapun tujuan tingkah laku lekat adalah mendapatkan kenyamanan dari pengasuh (Bowlby dalam Durkin 1995).
Menurut Ainsworth tingkah laku lekat adalah berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi dengan figur lekatnya. Capitanio berpendapat bahwa tingkah laku lekat merupakan sesuatu yang dapat dilihat, namun kadang perilaku ini dapat muncul dan kadang tidak. Intensitas perilaku lekat sangat bervariasi dan tergantung pada situasi lingkungan. Tingkah laku lekat ini ditujukan pada figur tertentu dan tidak ditujukan pada semua orang. Telah disebutkan sebelumnya pada teori etologi bahwa sebetulnya tingkah laku lekat tidak hanya ditujukan pada anak namun juga pada ibu. Bentuk tingkah laku lekat pada ibu berupa sikap yang ingin mempertahankan kontak dengan anak dan memperlihatkan ketanggapan terhadap kebutuhan anak. tingkah laku lekat ini berfungsi membantu individu bertahan dan menjaga anak dibawah perlindungan orang tua. Bowlby (dalam Stams, Juffer dan Ijzendoorn, 2002) menyebutnya dengan istilah “care taking behavior” yang merupakan bagian program biologis yang tidak dipelajari.
Tingkah laku lekat tidak berhubungan dengan kebutuhan makan, melainkan mendapatkan perlindungan dari ibu. Unsur penting dalam pembentukan kelekatan adalah peluang untuk mengembangkan hubungan yang timbal balik antara pengasuh dan anak. interaksi anak dengan pengasuh membutuhkan waktu dan pengulangan, dalam hal ini fungsi orang tua adalah memulai interaksi, bukan sekedar memberi respon terhadap kebutuhan anak. Interaksi yang intens antara ibu dan anak biasanya dimulai saat proses pemberian ASI (air susu ibu). Melalui proses pemberian ASI diharapkan akan berkembang kelekatan dan tingkah laku lekat karena dalam proses ini terjadi kontak fisik yang disertai upaya untuk membangun hubungan psikologis antara ibu dan anak. Berkaitan dengan tingkah laku lekat, Ainsworth (dalam Papalia dan Old 1986) menyebutkan ada mekanisme yang disebut dengan “working model” atau istilah Bowlby disebut dengan “internal working model”.
Berdasarkan kualitas hubungan anak dengan pengasuh, maka anak akan mengembangkan konstruksi mental atau internal working model mengenai diri dan orang lain yang akan akan menjadi prototip dalam hubungan social (Bowlby dalam Pramana 1996). Konsep working model selanjutnya dikembangkan oleh Collins dan Read (dalam Pramana, 1996) yang terdiri dari empat komponen yang saling berhubungan, yaitu;
a) Memori tentang kelekatan yang dihubungkan dengan pengalaman
b) Kepercayaan, sikap dan harapan mengenai diri dan orang lain yang dihubungkan dengan kelekatan
c) Kelekatan dihubungkan dengan tujuan dan kebutuhan (goal and needs)
d) Strategi dan rencana yang disosiasikan dengan pencapaian tujuan kelekatan.
Mc Cartney dan Dearing (2002) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah, “Internal” : karena disimpan dalam pikiran; “working” : karena membimbing persepsi dan perilaku dan “model” : karena mencerminkan representasi kognitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahuan mengenai keamanan dan bahaya. Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam interaksi di masa yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yang dimiliki seorang anak.
Model ini diasumsikan bekerja di luar pengalaman sadar (Mc Cartney dan Dearing, 2002). Pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh, khususnya ibu. Anak yang memiliki orang tua yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yang parallel dalam dirinya. Anak dengan orang tua yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari orang tua pada orang lain, misalnya pada guru dan teman sebaya. Anak akan berpendapat bahwa guru dan teman adalah orang yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebagai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial.
Menurut Bowlby (dalam Bretherton dkk,1997 ) internal working model dan figur lekat saling melengkapi serta saling menggambarkan dua sisi hubungan tersebut. Bayi yang diasuh dengan kehangatan, sensitifitas dan responsifitas akan mengembangkan internal working model yang positif pada orang tua dan diri sendiri. Internal working model merupakan hasil interpretasi pengalaman secara terus-menerus dan interaksinya dengan figur lekat. Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal working model, yaitu : 1). Familiar, yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi kebiasaan yang terjadi secara otomatis; 2). Dyadic Pattern, pola yang timbal balik cenderung akan mengubah pola individual karena harapan yang timbal balik memerintahkan masing-masing pasangan untuk mengartikan perilaku pihak lainnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tingkah laku lekat adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat anak merasa takut, sakit dan terancam, tujuannya adalah mendapatkan kenyamanan dari figur lekat. Tingkah laku lekat berupa berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah dan mempertahankan kedekatan serta melakukan komunikasi dengan figur lekatnya

Bentuk-Bentuk Tingkah Laku Lekat
Tingkah laku lekat pada manusia sangat bervariasi dan dapat tampak pada semua anak. tingkah laku ini dipergunakan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan serta bertujuan (goal corrected) hasil yang diharapkan dari tingkah laku ini adalah kedekatan dengan ibu.
Secara umum pengelompokan tingkah laku lekat adalah sebagai berikut:
a. Signaling Behavior
Efek dari tingkah laku ini adalah mendekatnya ibu pada anak. Tingkah laku ini sebetulnya bagi anak diharapkan untuk mendapatkan dan meningkatkan kedekatan dengan ibu. Kondisi anak dan pengaruhnya terhadap tingkah laku ibu (maternal behavior) berbeda-beda, misalnya, anak menangis (signaling behavior) maka ibu akan datang dan menggendong (maternal behavior). Tetapi jika anak “meraban” maka ibu akan tersenyum. Ada beberapa bentuk tingkah laku yang termasuk signaling behavior, antara lain:
1) Menangis
Timbul dari kondisi yang berbeda-beda , begitu pula intensitas dan ritmenya. Menurut Wolff (dalam Durkin,1995) ada tiga macam bentuk tangisan, yaitu tangisan dasar, tangis marah dan tangis sakit. Tidak jauh berbeda dengan hal itu Maccoby menyatakan ada tangis takut, tangis lapar dan tangis sakit. Tangis takut timbul secara mendadak, keras dan diikuti keheningan yang cukup panjang saat bayi menarik nafas. Tangis sakit biasanya juga terjadi secara mendadak dan banyak terjadi pada anak-anak. tangis lapar terjadi saat anak merasa perutnya lapar, dimulai dengan tangisan biasa dengan durasi sekitar 0,6 detik diikuti dengan keheningan singkat sekitar 0,2 detik, bunyi nafas pendek 0,1-0,2 detik dan diikuti periode istirahat singkat (Wolff dalam Durkin,1995).
2) Tersenyum dan Meraban
Tingkah laku ini efektif berpengaruh pada tingkah laku ibu setelah bayi berusia empat minggu. Tingkah laku ini muncul saat bayi bangun dan sadar serta merasa senang, artinya bayi tidak sedang sakit, lapar dan sendirian. Respon ibu terhadap respon anak biasanya tersenyum kembali, berbicara, membelai, menepuk, mengangkat dan menunjukkan kebahagiaan diantara mereka. Tingkah laku ini disebut maternal loving behavior dan merupakan salah satu bentuk tingkah laku bertujuan pada anak, Adapun tujuannya adalah mendapatkan reaksi dari ibu, dalam hubungannya dengan tingkah laku lekat tujuannya adalah agar kelekatan anak dengan figur lekat semakin besar dan dapat dipertahankan (Bowlby dalam Adiyanti, 1985).
3) Tanda Acungan Tangan (gesture raised arms)
Kemampuan bayi untuk mengangkat tangan saat ibu berada didekatnya muncul saat bayi berusia enam bulan. Anak selalu mengartikan isyarat ibu dengan mengangkat anak sehingga anak mengancungkan kedua tangannya. Acungan tangan ini oleh ibu diartikan bahwa anak ingin diangkat dan direspon dengan menggendong anak. sikap ini banyak ditunjukkan anak yang telah dapat merangkak atau sedang belajar berjalan.
4) Mencoba Menarik Perhatian
Perilaku ini dapat dilihat sebagai salah satu pernyataan perasaan dekat anak dan ibu. Hasil penelitian Shirley (dalam Adiyanti, 1985) setengah dari bayi yang diteliti menunjukkan tingkah laku ini pada usia 32 minggu, bayi lain menunjukkannya pada usia 34 minggu. Anak-anak yang berada pada batas usia ini biasanya selalu berusaha mencari perhatian dan tidak akan puas sebelum mereka mendapatkannya.

b. Approaching Behavior
Tingkah laku ini menyebabkan anak mendekat pada ibu, hal ini membuktikan bahwa seseorang itu mempunyai kecenderungan untuk selalu dekat dengan orang lain. Tingkah laku ini dinamakan tingkah laku lekat jika bayi hanya menujukan perilaku ini pada orang-orang tertentu dan tidak pada orang lain.
Ada beberapa kategori tingkah laku yang termasuk dalam approaching behavior, yaitu:
1) Mendekat dan mengikuti
Perilaku ini muncul saat bayi berusia delapan bulan, yaitu pada saat timbulnya kemampuan lokomosi pada bayi. Anak akan berusaha menyesuaikan gerakannya dengan figur lekat dalam rangka mencari atau mempertahankan kedekatan dengan figur lekatnya. Saat kemampuan kognisi muncul, anak tidak hanya mendekati, namun anak akan berusaha mencari.
2) Clinging
Tingkah laku ini berupa gerakan memeluk ibu apabila terjadi kontak yang sangat dekat dan sangat kuat pada anak yang berusia empat tahun, pada saat tingkah laku lekat memuncak karena adanya tanda bahaya atau reunion setelah perpisahan. Clinging muncul pada situasi khusus seperti saat anak gelisah, takut khawatir atau merasa terancam rasa amannya.
3) Menghisap
Hinde melakukan observasi dan menyimpulkan bahwa tingkah laku lekat tidak hanya menggunakan anggota tubuh tetapi juga mulut untuk menghisap dengan kuat puting susu ibunya. Berdasarkan hasil observasi tersebut disimpulkan bahwa nipple grasping dan sucking mempunyai fungsi : a) mendapatkan makanan sesuai kebutuhan bayi; b)merupakan salah satu bentuk tingkah laku lekat yang disebut non nutricial sucking, perilaku ini ditemukan anak yang menghisap dot, ibu jari atau tingkah laku menghisap yang kadang muncul saat anak tidak memerlukan makanan. Tingkah laku ini membuat bayi merasa relaks, oleh karena itu tingkah laku ini merupakan bagian tingkah laku lekat dan mempunyai unsur kedekatan dengan ibu.

 Figur Lekat
Ada dua macam figur lekat, yaitu figur lekat utama dan figur lekat pengganti. Menurut Bowlby (dalam Durkin 1995) individu yang selalu siap memberikan respon ketika anak menangis tetapi tidak memberikan perawatan fisik cenderung dipilih sebagai figur lekat pengganti. Adapun individu yang kadang-kadang memberikan perawatan fisik namun tidak bersifat responsif tidak akan dipilih menjadi figur lekat.
Adapun kondisi yang dapat menimbulkan kelekatan pada anak pada seseorang dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Pengasuh Anak
Termasuk pada siapa dan bagaimana pengasuhan dilakukan. Orang yang paling banyak mengasuh anak adalah orang yang paling sering berhubungan dengan anak dengan maksud mendidik dan membesarkan anak. Hal ini menyangkut kualitas hubungan antara pengasuh dan anak, disamping itu pengasuh anak harus tetap dan berhubungan dengan anak secara berkesinambungan (Pikunas dalam Ervika,2000).
b) Komposisi Keluarga
Anak mempunyai kemungkinan untuk memilih salah satu dari orang-orang yang ada dalam keluarga sebagai figur lekatnya. Figur lekat yang dipilih anak biasanya adalah orang dewasa yang memenuhi persyaratan pada butir a di atas. Ibu biasanya menduduki peringkat pertama figur lekat utama anak.
Hal ini dapat dipahami karena ibu biasanya lebih banyak berinteraksi dengan anak dan berfungsi sebagai orang yang memenuhi kebutuhannya serta memberikan rasa nyaman, namun dalam hal ini kuantitas waktu bukanlah faktor utama terjadinya kelekatan. Kualitas hubungan menjadi hal yang lebih dipentingkan. Kualitas hubungan ibu dan anak jauh lebih penting daripada lamanya mereka berinteraksi karena dengan mengetahui lamanya anak berinteraksi belum tentu diketahui tentang apa yang dilakukan selama interaksi. Hal ini dibuktikan oleh Schaffer dan Emerson (dalam Hetherington dan Parke,1999; Durkin, 1995) yang menemukan bahwa bayi memilih ayah dan orang dewasa lainnya sebagai figur lekat, padahal bayi menghabiskan waktu lebih banyak bersama ibu. Bayi-bayi ini memiliki ibu yang tidak responsif dan cenderung mengabaikan padahal ibu yang memberikan perawatan rutin pada bayi. Hal ini disebabkan karena ayah-ayah jaman sekarang cenderung mau terlibat dalam pemeliharaan anak. Masalahnya adalah sulit menilai kualitas kelekatan tersebut karena para ayah biasanya sulit diajak bekerjasama dalam penelitian akibat keterbatasan waktu yang mereka miliki (Shaffer dan Emerson dalam Durkin, 1995).
Menurut Bowlby, perkembangan kelekatan terhadap figur tertentu merupakan hasil proses yang bekerja dalam diri anak, yaitu:
a) Kecenderungan anak untuk melakukan orientasi, melihat dan mendengarkan suatu kelompok stimuli tertentu dan sejumlah stimuli yang lain. Hal ini memungkinkan bayi yang masih sangat muda menaruh perhatian khusus pada orang yang merawatnya (sebagai suatu stimuli).
b) Kegiatan belajar memungkinkan bayi belajar tentang atribut persepsual dari orang yang memberikan perhatian kepadanya dan membedakan orang tersebut dari orang-orang disekitarnya.
c) Bayi mempunyai kecenderungan untuk mendekati orang yang sudah dikenalnya dan telah dibedakan dari orang lain
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan figur lekat adalah individu-individu yang dapat memenuhi kebutuhan bayi baik itu kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologisnya berupa terpenuhinya rasa aman dan nyaman serta kepastian. Figur lekat biasanya adalah orang yang mengasuh bayi, namun pengasuh yang hanya memenuhi kebutuhan fisik tetapi tidak responsif terhadap keinginan dan tingkah laku lekat bayi tidak akan dipilih menjadi figur lekat.

Fase Perkembangan Kelekatan
Biasanya, masa peka untuk mengembangkan kelekatan adalah pada usia satu tahun (Bernt, 1992) dengan efek yang lebih kuat pada orang yang sering melakukan interaksi dan berhubungan langsung dengan anak. Pendapat lain mengatakan bahwa masa kritis bayi adalah dua jam pertama setelah dilahirkan (Kennel dan Klaus dalam Bee, 1981). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kontak yang dilakukan ibu pada satu jam pertama setelah melahirkan selama 30 menit akan memberikan pengalaman mendasar pada anak. Hal senada juga diungkapkan oleh Sosa (dalam Hadiyanti, 1992), ia menemukan bahwa ibu yang segera didekatkan dengan bayinya setelah melahirkan akan menunjukkan perhatian 50% lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak melakukannya.
Perkembangan kelekatan dan tingkah laku lekat harus disertai perkembangan kemampuan kognitif dan berhubungan dengan permanensi objek (Flavell dalam Hadiyanti,1992). Adanya kemampuan permanensi objek membuat anak mengetahui bahwa ibunya mempunyai sosok yang berbeda dengan sosok atau objek lain, sehingga pada sosok istimewa inilah anak memutuskan untuk mengikatkan tali emosional dan menjadi lekat. Sebaliknya, kenyataan membuktikan bahwa tidak hanya kemampuan kognitif yang berperan dalam perkembangan kelekatan, namun perkembangan kelekatan juga berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Anak yang lekat dengan ibu dan pengasuh akan mengembangkan minat terhadap objek kelekatannya, sehingga perilaku objek lekatnya akan menjadi stimulus bagi aspek kognitif anak.

Menurut Bowlby (dalam Scarr, Weiberg dan Levin, 1986) perkembangan kelekatan dibagi menjadi empat fase, yaitu:
a) Indiscriminate Sociability
Terjadi pada anak yang berusia dibawah dua bulan. Bayi menggunakan tangisan untuk menarik perhatian orang dewasa, menghisap dan menggenggam, tersenyum dan berceloteh digunakan untu menarik perhatian orang dewasa agar mendekat padanya.
b) Discriminate Sociability
Terjadi pada anak yang berusia dua hingga tujuh bulan. Pada fase ini bayi mulai dapat membedakan objek lekatnya, mengingat orang yang memberikan perhatian dan menunjukkan pilihannya pada orang tersebut.
c) Spesific attachment
Terjadi pada anak yang berusia tujuh bulan hingga dua tahun. Bayi mulai menunjukkan kelekatannya pada figur tertentu. Fase ini merupakan fase munculnya intensional behavior dan independent locomosi yang bersifat permanen. Anak untuk pertama kalinya menyatakan protes ketika figur lekat pergi. Anak sudah tahu orang-orang yang diinginkan dan memilih orang-orang yang sudah dikenal. Mereka mulai mendekatkan diri pada objek lekat. Anak mulai menggunakan kemampuan motorik untuk mempengaruhi orang lain.
d) Partnership
Terjadi pada usia dua sampai empat tahun. Fase ini sama dengan fase egosentris yang dikemukakan Piaget. Memasuki usia dua tahun anak mulai mengerti bahwa orang lain memiliki perbedaan keinginan dan kebutuhan yang mulai diperhitungkannya. Kemampuan berbahasa membantu anak bernegosiasi dengan ibu atau objek lekatnya. Kelekatan membuat anak jadi lebih matang dalam hubungan sosial. Bowlby menamakannya goal corrected partnerships, hal ini membuat anak lebih mampu berhubungan dengan teman sebaya dan orang yang tidak dikenal.

 Variasi Kelekatan (Kualitas Kelekatan)
Eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dilakukan oleh Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan Spieker,2003; Cummings,2003, Sroufe,2003; Cassidy,2003; Waters dan Beauchaine,2003). Ainsworth menggunakan metode eksperimen dengan situasi asing (the strange situation). Anak ditempatkan dalam ruangan yang dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familier, adanya perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh tiga respon, yaitu:
a) Insecurely Attached Avoidant infant (Type A )
ditemukan pada 20% sample penelitian. Anak menolak kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang memiliki resiliensi ego dan kurang mampu mengekspresikan emosi negatif (Cicchetti dan Toth,1995). Selain itu anak juga tampak mengacuhkan dan kurang tertarik dengan kehadiran ibu (Dishion, French dan Patterson,1995).
b) Securely Attached Infant(Type B)
Ditemukan pada 70% subjek penelitian. Ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi. Anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan Toth,1995) Anak merasa terganggu ketika ibu pergi dan menunjukkan kebahagiaan ketika ibu kembali.
c) Insecurely Attached Resinstant Infant (Type C)
Ditemukan pada10% subjek penelitian. Menunjukkan keengganan untuk mengeksplorasi lingkungan. Tampak impulsive, helpless dan korang kontrol (Cicchetti dan Toth,1995). Beberapa tampak selalu menempel pada ibu dan bersembunyi dari orang asing. Anak tampak sedih ketika ditinggal ibu dan sulit untuk tenang kembali meskipun ibu telah kembali. Mampu mengekspresikan emosi negatif namun dengan reaksi yang berlebihan.
d) Disorganized/ Disoriented Attached (Type D)
Ini merupakan tipe kempat yang dihasilkan dari pengembangan eksperimen yang dilakukan oleh Main, Hesse dan Solomon (dalam Dishion, Frech dan Patterson, 1995; Cummings, 2003). Ditemukan pada anak-anak yang mengalami salah pengasuhan (maltreated) dimana kekacauan emosi terlihat saat episode pertemuan kembali dengan ibu. Perilaku mereka tampak sangat tidak terorganisasi, mengalami konflik dalam dirinya serta menunjukkan kedekatan sekaligus penolakan. Adakalanya secara langsung menunjukkan kekhawatiran dan penolakan yang lebih besar pada ibu dibandingkan dengan orang asing.
Berdasarkan variasi kelekatan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi kelompok kelekatan yang aman (secure attachment) yaitu Tipe B dan kelompok kelekatan yang tidak aman (insecure attachment) yaitu Tipe A, Tipe C dan Tipe D. Ainsworth (dalam Ervika, 2000; Belsky,1988) menemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan yang tidak aman mengalami masalah dalam hubungan dengan pengasuh atau figur lekat sebaliknya anak yang memiliki kelekatan aman memiliki pola hubungan dengan kualitas yang sangat baik. Anak dengan kelekatan insecure avoidant memiliki ibu yang tidak sensitif terhadap sinyal yang diberikan bayi dalam berbagai situasi pengasuhan dan situasi bermain. Sedangkan anak dengan kelekatan insecure resistant memiliki ibu yang tidak menyukai kontak fisik dengan anak dan memiliki ekspresi emosional yang kurang memadai atau kurang ekspresif, ibu juga menunjukan sikap yang tidak konsisten. Berbeda dengan anak yang memiliki pola kelekatan tidak aman, anak yang memiliki kelekatan aman (secure attached) memiliki ibu yang responsif pada kebutuhan dan sinyal-sinyal yang diberikan bayi dan mempunyai sikap yang konsisten. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak yang memiliki kualitas kelekatan yang paling baik adalah anak dengan kelekatan aman (Tipe B).

DAFTAR PUSTAKA

Adiyanti. M.G., (1985). Perkembangan Kelekatan Anak. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana UGM.
Bee, H. (1981). The Developing Child. Third edition. New York. Harper International
Belsky, J. (Ed) (1988). Infancy, Childhood and adollescene. Clinical Implication of Attachment. Lawrence Erlbaum Associate
Berndt, T.J., (1992). Child Development. Harcourt: Brace Jovanovich College Publishers
Bretherton, I., Golby, B., & Cho, Eunyoung., (1997). Attachment and Transmission of Values dalam Grusec,J.E. & Kuczynski, L. Parenting and Children’s Internalization of Values: A Handbook of Contemporary Theory . Halaman 103-134. John Willey & Sons Inc
Cummings, E.M., (2003). Toward Assessing Attachment on an Emotional Security Continum: Comment on Fraley and Spieker. Journal of Developmental Psychology Vol 39, No 3, 405-408. American Psychological Association Inc
Durkin, K. (1995). Developmental Social Psychology. Massachussets: Blackwell Publisher Inc
Hetherington, E.M & Parke R.D.,(Ed). (1999). Child Psychology : A Contemporary View Point. Fifth Edition. Mc Graw-Hill College
Scarr,S., Weiberg, R.A. & Levin, A. (1986). Understanding Development. Harcourt Brace Jovanovich Inc
Sroufe, L.A., (2003). Attachment Categories as Reflection of Multiple Dimensions : Comment on Fraley and Spieker. Journal of Developmental Psychology Vol 39, No 3, 413-416. American Psychological Association Inc
Stams, J.M., Juffer, F., Ijzendoorn, M.H. (2002). Maternal Sensitivity , Infant Attachment and Temperament in Early Childhood Predict Adjustment in Middle Childhood: The Case of Adopted Children and Their Biologically Unrelated Parents . Journal of Developmental Psychology Volume 33 No 5 806-821. American Psychological Association Inc
Sutcliffe, J., (2002). Baby Bonding, Membentuk Ikatan Batin dengan Bayi. Jakarta: Taramedia & Restu Agung

    Archives

    July 2013

    Categories

    All
    Attachment Parenting
    Disiplin Positif
    Parenting
    Parenting Anak Dan Remaja
    Penerapan Disiplin
    Perkembangan Berhitung
    Persiapan Kerja
    Psikologi Anak
    Psikologi Kerja
    Psikologi Pendidikan
    Psikologi Perkembangan
    Psikologi Remaja
    Teori Attachment
    Teori Kelekatan